Konflik Para Wali dengan Siti Jenar

  

   Pada waktu itu Siti Jenar oleh para wali dianggap mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat umum. Pendapat Siti Jenar dipandang tidak sesuai dengan isi Alqur'an dan hadis. Para wali lain [ Siti Jenar sendiri adalah salah satu Wali 9 ] merasa kehilangan pengaruhnya, karena adanya ajaran Siti Jenar. Karena itu para wali yang erat hubungannya dengan Sultan Demak, berusaha menghentikan Siti Jenar. Para wali menuduh dia telah mencemoohkan syariat Arab. Orang-orang yang belajar agama Islam pada Siti Jenar dipandang telah tersesat.


   Siti Jenar dipandang telah mengajarkan ilmu untuk menyingkap rahasia alam. Ilmu tetsebut sebenarnya tidak dapat diajarkan kepada sembarang orang. Mengapa ? Kata para wali,  bila ilmu itu diajarkan kepada sembarang orang maka rusaklah tatanan syariat agama yang telah ditetapkan di Kesultanan Demak Bintoro. Para wali merasa pekerjaannya menjadi sia-sia belaka. Siti Jenar dipandang membangkang kesultanan dengan kedok agama. Karena itu dia harus dihentikan untuk tidak mengajarkan ilmunya. Jika ia masih membangkang, maka ia akan dikenai hukum yang berlaku. Yaitu, hukuman mati! Jadi, jelas sekali bahwa pandangan para wali bertolak belakang dengan pandangan Siti Jenar. Bagi Siti Jenar, pendapat adalah pendapat! Pendapat bukanlah realitas. Tetapi hasil dari pemahaman terhadap sebuah realitas.


   Pendapat, opini, adalah hasil kesimpulan dari pemahaman suatu fakta atau ilmu. Artinya, untuk fakta atau pengetahuan yang sama, kesimpulan yang dihasilkan oleh dua atau lebih dapat berbeda. Tergantung latar belakang, kecerdasan, dan kedalaman ilmu yang dimiliki orang yang mempelajarinya itu. Karena itu perbedaan pendapat tak perlu dipertajam hingga muncul permusuhan. Rakyat harus diberi kebebasan dalam memilih pendapat. Pendapat tidak boleh diseragamkan! Hal ini justru bertentangan dengan sifat alam yang penuh perbedaan. Selama pendapat itu tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kriminalitas, untuk melakukan pemberontakan, maka pendapat yang brrbeda di tengah masyarakat harus diberi tempat.


   Memang suatu pendapat bila sudah diterima orang banyak akan menjadi suatu kepercayaan. Dan, sebuah kepercayaan akan mendasari perilaku pemeluknya. Tentu ada orang yang merasa bahagia dengan kepercayaannya. Sedangkan yang merasa tidak cocok dengan kepercayaannya itu akan memeganginya dengan terpaksa, atau jika memungkinkan akan meninggalkannya. Ini adalah hal yang biasa dalam kehidupan.


   Buku ini cuplikkan perdebatan antara Pangeran Tembayat [PT] dan Siti Jenar [SJ]. Perdebatan ini ada di pupuh 5 (Dandang gula): 23-24.


   PT : "Ilmu yang saudara ajarkan itu telah diterima oleh orang-orang muda yang masih bodoh. Sekarang banyak orang yang menerjang ketentraman negara, karena mereka yakin wejangan Saudara itu benar. Sekarang saya ingin tahu apa yang menjadi pegangan saudara, sampai Saudara mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat umum, yaitu yang berlandaskan Alqur'an dan hadis?"


   SJ : "Hah...., ternyata Saudara terbelakang! Saudara menjadi wali tetapi tidak mengetahui tafsir. Saudara lebih baik menjadi budak saja."
"Bergelandangan ke mana saja boleh, asal hidup! Tetapi jika diminta untuk mati, sama sekali menolak. Padahal tuturmu, rela menyerahkan nyawamu siang dan malam bila diminta oleh Tuhan. Jika demikian Saudara bohong! Jika ada pertengkaran, diminta nyawamu, Saudara menolak. Nah, apa bedanya menjadi wali dan gelandangan tunu wisma?"


   Dari cuplikan di atas tahulah kita bahwa Siti Jenar telah dituduh mengajarkan ilmu tentang rahasia alam kepada sembarang orang. Dikatakan oleh Pangeran Tembayat bahwa banyak orang yang menerjang ketentraman negara. Yang dimaksud melanggar ketentraman negara adalah banyaknya orang yang tidak lagi mengerjakan syariat, dan tidak mau membayar zakat. Pendapat Siti Jenar dianggap bertentangan dengan pendapat umum yang berlandaskan Alqur'an dan hadis.


   Dalam diskusi dengan Syekh Siti Jenar, ternyata ketahuan bahwa ilmu agama yang dimiliki oleh Pangeran Tembayat sangat terbatas. Pangeran Tembayat dikatakan tidak memahami tafsir. Dan dari diskusi itu dapat diketahui bahwa "wali" adalah status sebagai penyebar agama Islam. Sebagai seorang penyebar agama, Pangeran Bayat tidak menguasai praktik kehidupan. Sehingga kebenaran yang dipeganginya bersifat teoritis. Tetapi jika diajak mati, Pangeran Bayat menolaknya. Tentu saja Pangeran Bayat disindir bahwa dirinya tidak ada bedanya dengan orang gelandangan.


   Apa yang dilakukan oleh Siti Jenar sebenarnya ada di dalam Alqur'an. Hanya saja peristiwanya yang berbeda. Dikemukakan dalam Alqur'an bahwa pada zaman Nabi orang-orang Yahudi senantiasa mengklaim kebenaran. Mereka itu berkeyakinan bahwa hanya keimanan dan pendapatnya yang benar. Keimanan dan pendapat orang lain salah. Bahkan mereka beranggapan bahwa hanya orang Yahudi yang menjadi kekasih Tuhan. Orang lain bukan kekasih-Nya. Orang lain tidak bisa masuk surga!


   Keyakinan mereka itu diabadikan dalam Alqur'an yang terjemahnya sebagai berikut:

Katakan: "Jika negri akhirat di sisi Tuhan itu dikhususkan bagimu, dan bukan untuk orang lain maka mintalah mati jika kamu orang-orang yang benar."(5)
Katakan: "Hai orang-Orang Yahudi, jika kamu berpendapat bahwa hanya kalian yang menjadi kekasih [ para wali ] Allah, dan bukan orang-orang lain, maka mintalah mati jika kamu orang-orang yang benar."(6)


   Jadi, menurut Siti Jenar, jika pendapat kita ini sungguh-sungguh benar, sedangkan pendapat orang lain salah, maka kita harus berani minta mati. Dengan kata lain, jika kita yakin bahwa kalau kita mati pasti masuk surga karena pendapat kita itu benar, maka tak ada alasan bagi kita untuk hidup sekarang ini. Lho, mengapa begitu? Karena hidup didunia ini tak lepas dari penderitaan. Mengapa kita tudak cepat-cepat mati agar cepat masuk surga? Tidak berani, berarti ragu dong!? Orang tidak mau mati karena pada umumnya orang tidak mengerti misteri kematian. Bahwa kita pernah melihat orang mati tidak diragukan lagi. Tetapi, apakah kita mengetahui apa yang terjadi dibalik kematian itu? Karena tak tahu, maka kita takut!


   Karena itu, pendapat jangan diabsolutkan! Pendapat boleh diperdebatkan, tetapi tidak untuk melindas pendapat orang lain yang berbeda. Karena pendapat yang dipegang oleh mereka yang berkuasa atau yang bekerja sama dengan penguasa, belum tentu benar. Jadi, tak perlu dipaksakan, mengikuti suatu agama saja tidak perlu dipaksakan, apalagi memegangi pendapat. Dan, karena sejarah telah membuktikan bahwa syariat agama yang berkembang di tengah masyatakat itu merupakan pendapat para ulama dari golongannya, maka hendaknya syariat agama tidak dijadikan undang-undang dalam suatu negara. Nanti banyak pihak yang ingin menjatuhkan orang lain dengan bergedok agama. Banyak pihak yang ingin memaksakan kehendaknya atas nama agama. Bukan kedamaian yang kita peroleh, tetapi derita akibat konflik!


   Lima ratus tahun yang lalu, Siti Jenar telah menyadari hal ini. Dia malu bila perbedaan pendapat di kalangan ulama menimbulkan pertikaian. Negara harus jujur bersumber pada hukum positif yang objektif demi keselamatan dan kesejahteraan semua warganya. Pendapat yang bersumber pada keyakinan agama jangan dibawa-bawa untuk nengatur kehidupan yang plural ini. Lho, bukankah Nabi menjalankan pemerintahan itu berdasarkan Alqur'an? Benar, beliau adalah orang yang menerima wahyu, Alqur'an itu sendiri. Beliaulah satu-satunya orang yang memiliki otoritas untuk menerapkan ajaran Alqur'an. Namun demikian, untuk hal-hal yang strategis Nabi perlu berunding atau bermusyawarah dengan para sahabat beliau.


   Persoalan masyarakat terus berkembang. Islam bersinggungan dengan berbagai adat, budaya, dan agama lain. Sehingga, pendapat yang menjadi solusi kehidupan dimasa Nabi tidak mencukupi lagi. Perlu penggalian-penggalian makna Alqur'an yang lebih dalam yang sesuai dengan lingkungan dan zamannya. Manusia harus mempergunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat-Nya di alam raya ini. Seperti yang telah diutarakan di atas, kitab suci apa saja adalah "kitab kering". Kitab itu tidak akan betarti apa-apa bila tidak dipahami sesuai dengan konteksnya.


   Memang kandungan kitab suci itu abadi, tetapi ia kering. Suatu teks suci yang dipahami beberapa abad yang lalu, ia tidak pas jika pemahaman itu harus diterapkan sekarang ini. Misalnya, masalah kesaksian terhadap orang yang dituduh berzina. Pada masa lalu, 4 orang saksi laki-laki adalah absolut. Tetapi, dengan uji DNA kesaksian terhadap siapa yang menzinai tak diperlukan lagi. Karena bukti dari uji DNA lebih akurat dari pada pengakuan 4 orang saksi yang masih bisa berbohong. Begitu pula dengan masalah hutang-piutang, sistem administrasi sekarang ini lebih canggih daripada kesaksian 2 orang laki-laki.

(5) Q.S. Al Baqarah/2:94
(6) Q.S. Al Jumu'ah/62:6